Kangen

by - October 04, 2014



Hari ini aku pulang ke rumah. Besok Idul Adha soalnya. Mama nyuruh aku ngambil gunting di kandang ayam belakang rumah. Sebelum masuk kandang, aku ketemu dia lagi. Tanah hijau ini lagi. Langit biru ini lagi. Sawah kuning ini lagi. Sebentar aku kasih guntingnya dulu.

Aku ingat dulu aku selalu main di sini. Tanah ini kangen aku ga ya. Langit ini kangen aku ga ya. Aku udah lama ga ke sini. Kalian sekarang main sama siapa? hmm... jangan dulu pergi ya, anak aku mau ketemu kalian dulu. 

Di sini aku mulai diperkenalkan dengan teman. Teman mana yang meninggalkan kamu saat kakimu masuk selokan atau teman mana yang rela mengambil sendalmu yang terperosok dalam di dalam selokan. 
Di sini juga aku belajar kejujuran. Tentang siapa yang memegang benang layangan lebih dulu maka dialah yang berhak. Tentang siapa yang kalah dalam beradu dan berjanji akan mencegatmu kalau kamu keluar rumah. 
Di sini juga aku belajar tentang saling hormat-menghormati. Bagaimana kamu akan turun dari pematang untuk membiarkan seorang petani yang membawa banyak jerami untuk lewat. Bagaimana kamu menghormati tugas mulia para petani dengan tidak menginjak tanah-tanah yang sudah dibenihi. 
Di sini juga aku belajar untuk selalu menyayangi makhluk hidup lain. Tentang bagaimana kamu melepaskan kepiting dan kecebong kembali atau membiarkan sarang burung tetap di pohonnya. Tentang bagaimana kamu menjaga sebuah pohon jambu yang sekarang pohonnya bisa kau naiki dan kau makan buahnya di atas pohon. 
Di sini juga aku belajar mandiri. Tentang bagaimana kami mengambili rangka layangan yang sudah rusak lalu mengganti kertasnya dengan kertas yang kami beli lalu kami jual.
Dan masih banyak pelajaran hidup yang bisa aku petik di sini. 

Oh betapa rindu aku kembali ke sini. Sore hari di mana langit mulai teduh. Matahari sudah lelah dan menuju peraduannya. Anak-anak mulai berdatangan ke lapangan sambil menenteng beberapa layangan cap jarum, cap Z, cap sebelas, beberapa membawa 'asisten' yang sudah siap dengan bambunya untuk mengambil layangan putus. Semuanya mengenakan kaos seadanya yang nyaman dipakai berlari. Dalam sehari bisa beberapa pertarungan sengit di udara. Aku hanya ditugasi memegang layangan saat layangannya ditinggal pergi. Aku kurang mahir menerbangkannya. Ketika yang lain selalu bernafsu untuk menang, aku lebih senang memerhatikan keadaan sekitar, melihat ekspresi mereka, melihat kelihaian mereka. 

Tapi sekarang aku sudah lama menghilang dari sana. Aku tinggal di kota, bukan kabupaten. Sehari-hari hanya berkutat dengan teman dan tugas. Seru, namun menurutku tidak sepenuhnya realistis. Dipusingkan dengan beberapa pelajaran yang sampai saat ini belum aku mengerti gunanya apa. Tapi aku tau, ini proses yang harus aku jalani. 

Saat aku pulang, banyak hal yang berubah. Yang menurutku ko bisa secepat itu. Sudah terlalu lamakah aku tidak di sana? Rasanya tidak. Karena aku selalu ingin pulang di sana. 

Tiba-tiba
Pabrik-pabrik kerupuk, plastik, atau apapun itu milik para Tionghoa itu bercokol megah di sana. Entah kapan berdiri, entah kapan meminta izin padaku untuk berdiri di situ. Teman-temanku yang dahulu menarik-ulur layangan bersama kini masuk pabrik pada pagi hari dan keluar di sorenya. Mereka mengenakan pakaian bebas sambil menunggu pintu pabrik dibuka saat aku mengantar mama ke warung. Jalan yang dulu rata kini semakin tidak enak dilewati. Tupai, musang, atau ular yang dulu sering menyebrang bebas, kini sudah tidak terlihat lagi. Truk-truk milik pabrik itu membuat jalan harus diganti sekitar 1 tahun sekali, padahal tau sendiri, jalan di desa hanya menggunakan aspal kelas tiga.  Mereka juga sering melanggar beroperasi di siang atau pagi hari. Saat jalan sedang banyak-banyaknya dilewati anak sekolah. Sudah tau jalan kecil, tentu saja tersendat. Bahkan tak jarang kuda-kuda delman pun ketakutan setiap berpapasan dengan truk. 

Dulu di ujung sawah itu ada langit! Sekarang ada atap-atap dulu baru ke langit.

Sawah-sawah itu sekarang hampir habis. Entah siapa menjual ke siapa. Setelah membaca bukunya Amien Rais berjudul Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia, aku mulai terbuka. Mungkin ini yang dimaksud dengan profit sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lingkungan. Mungkin ini ulah korporasi-korporasi yang 'ceritanya' ingin bersaing di pasar bebas sana. Aku dan teman-teman saat ini hanya bisa menonton sambil mengikuti. Tapi aku ingin memperbaikinya, masih sempatkah?

Aku ingin anakku nanti bisa bermain seperti aku kecil dulu. Bertemu dengan teman-temannya secara nyata, bukan yang harus diadd lalu dikonfirm dulu. Bertemu dengan cacing, kupu-kupu, pohon cabe, dan kawan-kawan yang akan ia temukan teorinya di perpustakaan. Menikmati udara dan pemandangan sejuk untuk menyegarkan mata dan pikiran. Membiarkan tubuhnya bergerak ke sana ke mari mengikuti tiupan angin supaya fisiknya sehat. Menikmati indahnya kemenangan atau pahitnya kekalahan dan belajar untuk bangkit secara langsung. Belajar cara memperlakukan orang dengan baik bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi. Aku harap begitu. Semoga masih ada nanti. 

Jangan dulu pergi ya, anak aku mau ketemu kalian dulu.


 


The same place, different feeling. How i miss my chilhood. 

You May Also Like

0 comments