Ngarang
Tadi sekali aku mengikuti hearing calon ketua kaderisasi
himpunan aku sekarang. Kaderisasi seperti biasa, ingin mencetak kader ideal
menurut himpunan. Sering sekali aku mendengar hearing-hearing organisasi dan di
sana bermunculan tipe-tipe orang. Yang biasanya terlihat keren dan berwibawa
biasanya yang berani bicara dan omongannya ideal seakan-akan dia tau betul
kondisi dan punya solusi. Tapi sebenarnya sering kali solusi yang terdengar ‘aga
jauh’, walaupun keren di awal, kadang terlupakan untuk direalisasikan. Kenapa? Karena
ga pernah aja. Kepengurusan kemarin ngga gitu. Kepengurusan cenderung berkaca
hanya pada cermin kepengurusan tahun lalu. Bukan pada cermin-cermin lain di
organisasi lain, daerah lain, negara lain, atau bahkan zaman lain. Sehingga cenderung
berjalan di rel yang sama.
Habit suatu organisasi biasanya dipelihara terus menerus,
diestafetkan. Yang baik ada, yang buruk pun tak luput. Padahal mungkin alasan
bersemangat para pendiri dan anggota kemarin sore berbeda. Sebut saja pakaian,
apakah masih cukup? Kalo masih, pakai saja lagi. Tapi kalo sudah kekecilan, sudah
waktunya jahit yang baru.
Organisasi, atau dalam hal ini himpunan, nowadays, banyak
sekali yang memprioritaskan gengsi. Entah dari pakaiannya, indeks prestasinya,
suporterannya, prestasinya, kaderisasinya. Banyak. Sering kali himpunan sepi dan
dipandang sebelah mata karena tidak bergengsi. Padahal mau ke mana atuh bareng
si gengsi teh hehehe.
Tadi lumayan ada perdebatan. Beberapa. Tapi yang mau saya
sorot cuma statement seorang calon yang bilang tak perlu masa banyak, yang
penting bertanggung jawab. Dan saya lihat ia serius akan hal itu. Ketika ada
yang berbicara seperti itu, ditambah kata-kata sihir ‘kualitas lebih baik dari
kuantitas’ pasti semua mengiyakan. Tapi apakah benar berani? FYI himpunan saya
termasuk himpunan dengan anggota paling bejibun di kampus. Calon tersebut
menyebutkan nominal 50/250an calon. Jumlah yang sangat drastis dari perekrutan
sebelumnya.
Setelah ia mengutarakan hal tersebut, beberapa oknum mulai meragukan.
Masalahnya himpunan butuh massa untuk menjalankan prokernya. Saya juga melihat
ada itikad baik dari himpunan untuk menyelamatkan anggotanya dari kebiasan
tujuan. Kemarin, bagi yang belum memiliki tujuan jelas, sangat disarankan
bergabung dengan himpunan. Bahkan menurutku banyak toleransi syarat yang
diberikan saat kaderisasi agar semakin banyak massa yang terhimpun. Persepsinya
setidaknya kamu bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat di himpunan, entah itu
nyambung atau tidak dengan keprofesian himpunan.
Jika ingin main ekstrim, sebenarnya bisa saja menjalankan
kepengurusan dengan hanya 50 orang. Karena sebenarnya kalo mau ambil bersih
lebih baik 50 orang bekerja untuk melayani 50 orang, daripada 250 orang. Toh kebutuhannya
pun bisa dipangkas. Pergerakannya jadi lebih cepat dan lincah. Sudah sering
dikatakan jumlah itu bukan faktor penentu kemenangan. Profil anggota lah yang
menentukan. Perang-perang zaman Rasul sudah menjadi saksi bisu akan absolutnya
konsep ini. Jumlah itu benar-benar 50:50, kalo jumlah bukan menjadi faktor
kemenangan, berarti itu adalah faktor kekalahan.
Sang calon menawarkan konsep kebebasan. Bebas untuk memilih
menjadi anggota himpunan atau non himpunan terlepas dari pandangan umum rakyat
kampus. Bebas menentukan jalannya sendiri. Dia diberikan hak sepenuhnya sebagai
manusia untuk menentukan jalannya setelah selama ini dibisiki untuk memilih
jalan terpilih. Ada pihak yang menyatakan ‘boleh, patut dicoba’ ada juga yang ‘kembali
ke tujuan himpunan’ yang artinya kembali ke konsep semua.
Kalo menurut aku,
Hayu yu coba aja J
Toh sebenarnya konsepnya benar kan? Tapi sebuah keputusan
besar pasti butuh pengorbanan besar. Konsep kaderisasi harus benar-benar bisa
menghadirkan sosok himpunan ke setiap pribadi calon kadernya. Ini bukan hal
mudah mengingat kondisi angkatan sekarang. Tapi bukan sesuatu yang mustahil. Tampilkan
himpunan apa adanya, semuanya, bukan yang terlihat ranum saja. Jangan sampai
ada yang tidak kenal himpunannya, tapi diberi pilihan tersebut. Sama saja
dengan tidak bebas bukan? Di samping itu himpunan pun harus berbenah diri untuk
mewadahi aktivitas calon anggotanya kelak. Meningkatkan produktifitasnya supaya
apa yang nanti terjanjikan bisa terealisasikan.
Jika konsep ini dijalankan, menurutku manusia sekarang belum
benar-benar memiliki kebebasan. Walaupun sudah ditegaskan himpunan ini tidak
wajib nantinya, tebakanku akan tetap banyak yang akan mendaftar menjadi
anggota. Entah karena gengsi, teman, atau itu memang jalan terpilih. Toh sekarang
masih ada yang memilih prodi karena melihat himpunannya. Tapi dengan konsep
itu, bisa saja persepsi sedikit banyak berubah. Menjalankan himpunan bukan lagi
suatu keharusan, tapi kebolehan. Menurut aku, manusia sekarang lebih senang
bebas dari ikatan, hidupnya dinamis, seakan-akan menetap di suatu organisasi
itu berarti statis. Tapi karena seakan-akan himpunan itu merupakan jalan
terpilih, akhirnya mereka mau tak mau memilih. Suatu hari kalo ada yang malas
berhimpun, mudah saja tinggal bertanya ‘lah, siapa yang suruh?’ lalu ia tidak
akan bisa menjawab, ‘da waktu itu disaranin banget, sampe kaya wajib’.
Menurutku buat apa kita sembunyi di balik gengsi padahal di
tempat sembunyi kita, kita saling menusuk, saling menyalahkan ini kesalahan
siapa. Paling ga suka kalau udah ada pihak yang menuding pihak lain.
Kebebasan yang hakiki adalah penghambaan kepada Allah. Kita
bebas sebebas-bebasnya tapi kita dijaga supaya tidak merugi. Hanya satu sudut
pandang, hanya satu aturan yang menguntungkan kita sebagai ‘konsumen’. Namanya
juga bertransaksi dengan sang Maha Pemilik Kekayaan.
0 comments