Ngarang

by - April 14, 2015

Tadi sekali aku mengikuti hearing calon ketua kaderisasi himpunan aku sekarang. Kaderisasi seperti biasa, ingin mencetak kader ideal menurut himpunan. Sering sekali aku mendengar hearing-hearing organisasi dan di sana bermunculan tipe-tipe orang. Yang biasanya terlihat keren dan berwibawa biasanya yang berani bicara dan omongannya ideal seakan-akan dia tau betul kondisi dan punya solusi. Tapi sebenarnya sering kali solusi yang terdengar ‘aga jauh’, walaupun keren di awal, kadang terlupakan untuk direalisasikan. Kenapa? Karena ga pernah aja. Kepengurusan kemarin ngga gitu. Kepengurusan cenderung berkaca hanya pada cermin kepengurusan tahun lalu. Bukan pada cermin-cermin lain di organisasi lain, daerah lain, negara lain, atau bahkan zaman lain. Sehingga cenderung berjalan di rel yang sama.

Habit suatu organisasi biasanya dipelihara terus menerus, diestafetkan. Yang baik ada, yang buruk pun tak luput. Padahal mungkin alasan bersemangat para pendiri dan anggota kemarin sore berbeda. Sebut saja pakaian, apakah masih cukup? Kalo masih, pakai saja lagi. Tapi kalo sudah kekecilan, sudah waktunya jahit yang baru.

Organisasi, atau dalam hal ini himpunan, nowadays, banyak sekali yang memprioritaskan gengsi. Entah dari pakaiannya, indeks prestasinya, suporterannya, prestasinya, kaderisasinya. Banyak. Sering kali himpunan sepi dan dipandang sebelah mata karena tidak bergengsi. Padahal mau ke mana atuh bareng si gengsi teh hehehe.

Tadi lumayan ada perdebatan. Beberapa. Tapi yang mau saya sorot cuma statement seorang calon yang bilang tak perlu masa banyak, yang penting bertanggung jawab. Dan saya lihat ia serius akan hal itu. Ketika ada yang berbicara seperti itu, ditambah kata-kata sihir ‘kualitas lebih baik dari kuantitas’ pasti semua mengiyakan. Tapi apakah benar berani? FYI himpunan saya termasuk himpunan dengan anggota paling bejibun di kampus. Calon tersebut menyebutkan nominal 50/250an calon. Jumlah yang sangat drastis dari perekrutan sebelumnya.

Setelah ia mengutarakan hal tersebut, beberapa oknum mulai meragukan. Masalahnya himpunan butuh massa untuk menjalankan prokernya. Saya juga melihat ada itikad baik dari himpunan untuk menyelamatkan anggotanya dari kebiasan tujuan. Kemarin, bagi yang belum memiliki tujuan jelas, sangat disarankan bergabung dengan himpunan. Bahkan menurutku banyak toleransi syarat yang diberikan saat kaderisasi agar semakin banyak massa yang terhimpun. Persepsinya setidaknya kamu bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat di himpunan, entah itu nyambung atau tidak dengan keprofesian himpunan.

Jika ingin main ekstrim, sebenarnya bisa saja menjalankan kepengurusan dengan hanya 50 orang. Karena sebenarnya kalo mau ambil bersih lebih baik 50 orang bekerja untuk melayani 50 orang, daripada 250 orang. Toh kebutuhannya pun bisa dipangkas. Pergerakannya jadi lebih cepat dan lincah. Sudah sering dikatakan jumlah itu bukan faktor penentu kemenangan. Profil anggota lah yang menentukan. Perang-perang zaman Rasul sudah menjadi saksi bisu akan absolutnya konsep ini. Jumlah itu benar-benar 50:50, kalo jumlah bukan menjadi faktor kemenangan, berarti itu adalah faktor kekalahan.

Sang calon menawarkan konsep kebebasan. Bebas untuk memilih menjadi anggota himpunan atau non himpunan terlepas dari pandangan umum rakyat kampus. Bebas menentukan jalannya sendiri. Dia diberikan hak sepenuhnya sebagai manusia untuk menentukan jalannya setelah selama ini dibisiki untuk memilih jalan terpilih. Ada pihak yang menyatakan ‘boleh, patut dicoba’ ada juga yang ‘kembali ke tujuan himpunan’ yang artinya kembali ke konsep semua.

Kalo menurut aku,
Hayu yu coba aja J
Toh sebenarnya konsepnya benar kan? Tapi sebuah keputusan besar pasti butuh pengorbanan besar. Konsep kaderisasi harus benar-benar bisa menghadirkan sosok himpunan ke setiap pribadi calon kadernya. Ini bukan hal mudah mengingat kondisi angkatan sekarang. Tapi bukan sesuatu yang mustahil. Tampilkan himpunan apa adanya, semuanya, bukan yang terlihat ranum saja. Jangan sampai ada yang tidak kenal himpunannya, tapi diberi pilihan tersebut. Sama saja dengan tidak bebas bukan? Di samping itu himpunan pun harus berbenah diri untuk mewadahi aktivitas calon anggotanya kelak. Meningkatkan produktifitasnya supaya apa yang nanti terjanjikan bisa terealisasikan.

Jika konsep ini dijalankan, menurutku manusia sekarang belum benar-benar memiliki kebebasan. Walaupun sudah ditegaskan himpunan ini tidak wajib nantinya, tebakanku akan tetap banyak yang akan mendaftar menjadi anggota. Entah karena gengsi, teman, atau itu memang jalan terpilih. Toh sekarang masih ada yang memilih prodi karena melihat himpunannya. Tapi dengan konsep itu, bisa saja persepsi sedikit banyak berubah. Menjalankan himpunan bukan lagi suatu keharusan, tapi kebolehan. Menurut aku, manusia sekarang lebih senang bebas dari ikatan, hidupnya dinamis, seakan-akan menetap di suatu organisasi itu berarti statis. Tapi karena seakan-akan himpunan itu merupakan jalan terpilih, akhirnya mereka mau tak mau memilih. Suatu hari kalo ada yang malas berhimpun, mudah saja tinggal bertanya ‘lah, siapa yang suruh?’ lalu ia tidak akan bisa menjawab, ‘da waktu itu disaranin banget, sampe kaya wajib’.

Menurutku buat apa kita sembunyi di balik gengsi padahal di tempat sembunyi kita, kita saling menusuk, saling menyalahkan ini kesalahan siapa. Paling ga suka kalau udah ada pihak yang menuding pihak lain.

Kebebasan yang hakiki adalah penghambaan kepada Allah. Kita bebas sebebas-bebasnya tapi kita dijaga supaya tidak merugi. Hanya satu sudut pandang, hanya satu aturan yang menguntungkan kita sebagai ‘konsumen’. Namanya juga bertransaksi dengan sang Maha Pemilik Kekayaan.

You May Also Like

0 comments