Wanita Bergerak
Masih Sarinah, masih mikir.
Another episode dari 'perjalanan' wanita untuk mencari jati diri. Di berbagai belahan bumi, dahulu, kaum wanita dianggap masyarakat kelas dua. Dianggap tenaga lemah, pikiran tidak cemerlang, hanya bisa mengurus rumah, dan sangat perlu dilindungi. Asumsi, yang entah dari mana, ini yang membuat wanita jadi diperlakukan berbeda. Wanita tidak boleh sekolah, tidak boleh bekerja, tidak boleh masuk pemerintahan. Perlakuan berbeda ini yang membuat para perempuan jadi senewen dan uring-uringan. Mereka menginginkan persamaan di semuanya! Tapi nanti mari kita lihat, seleksi alam akan bidang-bidang tertentu akan memilih mana yang tidak perlu disamakan, sesuai kodratnya.
Bung Karno mengelompokan menjadi tiga. Entahlah ini bisa mutlak disebut sebagai tahapan atau bukan. Kilasan ini adalah kejadian di Eropa, karena di sanalah (katanya) lahir gembar-gembor mengenai pergerakan wanita.
Yang pertama, kelompok istri-istri priyayi yang gabut atau tidak ada kerjaan. Karena mereka juga tidak boleh bekerja dan tidak memiliki pekerjaan berat di rumah (karena memiliki banyak pembantu) mereka menjadi nganggur. Akhirnya mereka inisiatif untuk berkumpul dan melakukan sesuatu. Tapi alih-alih memikirkan nasib untuk memperjuangan kesetaraan, mereka malah mengasah 'keperempuanan' mereka. Memasak, menjahit, dll. Jadi, tidak ada sama sekali usaha untuk menyetarakan, yang ada hanya menyatakan mereka seperahu dengan patriarchat itu. Tidak salah, cuman mereka tidak peka beberapa bidang yang sebenarnya dipingitkan pada mereka, menurutku :p
Yang kedua, masih dari golongan istri priyayi, karena kegabutan yang semakin merajalela akhirnya mereka lebih bergerak lagi. Mereka mulai menyatakan keinginan untuk kesetaraan, terkait pendidikan, pekerjaan, perwakilan pemerintah, dll. Gerakan ini lah yang disebut feminis. Mereka mulai turun ke jalan untuk memperjuangkannya. Pergerakan mereka menempatkan pria dan wanita dengan posisi bersebrangan. Mereka saling berlawanan. Hingga setelah pasang surut perjuangan itu, dikabulkanlah permintaan mereka itu oleh lelaki untuk menempati posisi pemerintahan dan industri-industri. Mereka diperbolehkan bekerja dan duduk di Majelis Permusyawaratan. Inilah tujuan mereka, cita-cita mereka tercapai sampai di sana.
Yang ketiga, gerakan yang mulai dari kelompok wanita proletar. Sebelum golongan kedua tadi masuk industri, golongan ketiga ini sudah terlebih dulu terjun karena pertaruhan sesuai nasi yang memaksa mereka ikut bergelut. Sebagian besar golongan tiga ini adalah kaum sosialis. Saat itu, wanita bekerja lebih cemerlang dan murah dari pada pria. Hal ini yang menarik minat industri untuk merekrut sebanyak-banyak wanita. Lalu timbulah simbiosis mutualisme antara pria dan wanita proletar. Kaum pria khawatir karena semakin banyak wanita di industri akan membuat rata-rata upah mereka turun. Mereka berpikir untuk menyelesaikan ini mereka perlu menggandeng para wanita untuk menyelesaikan ini bersama. Hal ini disambut baik oleh wanita karena mereka menginginkan suara mereka didengar akan cita-citanya mendudukan wanita proletar di pemerintah, untuk menyuarakan kehidupan mereka yang pahit. Gabungan pergerakan antara pria dan wanita ini dibungkus dalam semangat sosialisme.
Dan, setelah semua keinginan mereka terkabul itu, kembali lagi, tak bisa dipungkiri, wanita memiliki cinta dan keibuan. Wanita tidak akan benar-benar bisa menyingkirkan suami, anak, dan rumah untuk bekerja. Walhasil mereka keblinger dan kecapean sendiri. Setelah pulang bekerja dalam keadaan letih, mereka harus melanjutkan pekerjaan lain di rumah. Sebenarnya mereka bisa saja melepaskannya, namun cinta itu lah yang membuatnya terus bertahan.
Mereka berada di antara dua kekalahan, kekalahan pertama adalah apabila mereka melepas pekerjaan untuk keluarga, padahal mereka sudah memperjuangkan itu selama bertahun-tahun lamanya. Muncul pula selentingan, buat apa belajar tinggi-tinggi kalau akhirnya ke dapur juga. Adalah suatu pembenaran mengatakan bahwa 'nanti ilmu itu bisa terpakai di keluargamu', kalau begitu mengapa tidak langsung belajar mengenai kerumahtanggaan?
Kekalahan kedua, apabila mereka memilih pekerjaan dan melepas keluarganya. Kekalahan akan tuntutan alam dan kodratnya pula sebagai wanita. Tak bisa dipungkiri setiap wanita akan memiliki passion yang mungkin terlihat berbeda dalam 'menata' keluarganya.
Sebuah tawaran Bung Karno (atau mungkin bukan) akan hal ini adalah mengkombinasikan pekerjaan dan keluarga, sehingga bisa saling mengisi. Maksudnya pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasanya perlu wanita kerjakan sendiri bisa diberikan kepada umum. Misalnya soal mencuci, memasak, menyediakan pakaian, dll. Sehingga ketika pulang pekerja, wanita tinggal memusatkan waktunya untuk suami dan anak. Tapi di sisi lain, ketika sang ibu bekerja (bisa dalam waktu lama), ia membiarkan sang anak diasuh oleh lingkungan.
Sekian.
Sedikit catatan kaki dari saya ya hehe. Dari buku itu pun semua setuju wanita akan memilih keluarga daripada bekerja di ujungnya. Hal ini bukan berarti pergerakan emansipasi wanita itu menjadi sama sekali tidak perlu. Karena kehidupan zaman dahulu memang sangat menomerduakan wanita, menganggapnya benda, binatang, semata penghasil anak, bisa dijual, diberikan. Wanita pun ada saja yang menerima perlakuan tersebut akibat didikan atau ketakutan akan buruknya nama akibat diceraikan, seakan-akan memang hukum alam seperti itu.
Namun di sisi lain, wanita dan pria memang diciptakan berbeda. Ya, berbeda. Tidak bisa semua disamakan. Kodratnya memang seperti itu. Untuk itu pergerakan itu harus lebih dipikirkan untuk memilah mana yang perlu diubah ataupun tidak diubah. Adapun yang sama adalah perintah untuk beribadah dan menuntut ilmu, bukan? (beneran nanya, takut salah) ini menunjukkan bahwa secara fisik wanita tidak selemah itu sehingga sangat berbeda dengan lelaki, dari segi kemampuan otak pun tidak ada salah satu di atas yang lain, hanya tergantung bagaimana otak itu diasah. Mungkin saat itu lelaki terlatih untuk menghadapi masalah lebih banyak sehingga lebih terkesan pandai.
Mengenai pendidikan, tentu, wanita pun harus menuntut ilmu. Menuntut ilmu wajib menurut ajaran Islam, dari buaian hingga liang lahat. Wanita pun perlu menyuarakan atau menyampaikan keperluannya di pemerintahan supaya aturan tidak hanya compatible untuk lelaki saja, mengenai caranya bisa saja diwakilkan oleh lelaki mungkin atau mungkin harus langsung wanita yang duduk di dewan perwakilan.
Mengenai pembagian tugas dalam keluarga, ketika zaman belum ada pergerakan wanita dan mungkin masih ada hingga zaman sekarang, wanita benar-benar direpotkan dengan urusan anak dan rumah serta ditambah pekerjaan apabila memang bekerja. Itu semua dijalankan sebagai suatu keharusan, yaa karena cinta pula sedikit. Dalam Islam (sejauh yang aku tau), mengenai mencari nafkah, yang wajib menafkahi adalah kaum lelaki. Hal itu termasuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, karena termasuk 'nafkah'lah makanan, rumah, itu pula. Kalau dipertanyakan mengapa, salah satunya adalah tenaga lelaki lebih besar. Mereka dianugerahi pikiran yang tidak mudah bercabang. Sehingga menguntungkan dalam mengambil beberapa keputusan. Selain itu, lelaki juga (menurut John Gray) memiliki ambisi untuk selalu 'paling', hal ini membuat mereka memiliki etos yang baik karena ingin menunjukkan kapabilitasnya. Sejarah pun berkata demikian, kaum lelaki sejak dulu berlomba memiliki tanah pertanian paling luas atau hewan ternak paling banyak.
Mengenai urusan pekerjaan, kaum wanita pun diperbolehkan bekerja oleh Islam. Tapi tidak wajib. Pendapatannya pun sama sekali tidak diminta untuk menafkahi keluarga, karena sudah bisa dipastikan wanita akan kelelahan memikirkan rumah dan kantor apabila diwajibkan untuk menafkahi pula. Silakan wanita bekerja tapi jangan melupakan kodratnya, passionnya, untuk melahirkan dan mengurus anak. Seorang anak akan sangat ditentukan oleh ibunya. Anak-anak di suatu tempat akan ditentukan oleh ibu-ibu di tempat itu. Apabila suatu generasi anak-anak yang sudah menjadi dewasa itu bertumbuh dengan kurang 'asupan', maka suatu generasi bisa menjadi hancur karenanya.
Wanita bisa bekerja untuk menyalurkan passionnya. Dia bisa menambah kebermanfaatannya dengan ilmu yang sudah ia selami. Mewujudkan doa ibu bapanya untuk menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Tapi jangan lupa, tanggung jawab utama melahirkan dan mendidik anak. Mengenai urusan rumah, lebih baik dibicarakan pembagiannya pula itu, membantu suami dalam Islam adalah suatu kebaikan yang besar. Apalagi suami sudah direpotkan dengan kewajibannya mencari nafkah. Apabila memiliki penghasilan lebih, bolehlah kita meminta tolong asisten rumah tangga. Namun, siapa tau keadaan kita nanti, lebih baik kita 'jaga-jaga' dengan sudah bisa atau mungkin terbiasa menyelesaikan urusan rumah sendiri.
Wanita akan diganjar surga apabila menurut suami, serta mendapatkan pahala tiada putus apabila berhasil membesarkan anak yang senantiasa mendoakan. Ketika bekerja menjadi salah satu bagian untuk melanggengkan hal di atas, bukan mustahil bekerja bisa terhitung sebagai ibadah di sisi-Nya, bukan?
3 comments
Ben, sebagai wanita, kan bekerja (berkarir) akan memakan banyak waktu kamu untuk keluarga ya, kamu akan memilih sepenuhnya untuk keluarga atau akan tetap bekerja (dalam artian di luar rumah)? hehe
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWaduh haha. Kalo yg aku pikirin sih yang paling penting anak dulu ro haha urgent dan menyenangkan sepertinya. Kalo kerjaan, diskusi dulu sama sang suami baiknya gimana. Kalo kerja, aku bakal milih (kalo bisa) yg dari segi jam kerja ngga terlalu menyita dan sesuai passion, aku faham kebermanfaatannya gimana dan seurgent apa. Tapi berarti harus extra energy. Kalo seandainya diminta utk di rumah aja juga, aku senang haha bisa baca buku dan mengerjakan hal-hal tak berjabatan :')
ReplyDeleteRoro?